Mempunyai Pasangan Perfeksionis, Musibah atau Berkah?

Perfectionist atau dalam bahasa indonesia perfeksionis adalah orang yang memiliki pandangan perfeksionisme, yaitu orang yang berkeyakinan bahwa seseorang harus menjadi sempurna pada aspek fisik atau pun non materi, itu sedikit penjelasan yang saya kutip dari bang wiki. Dan pertanyaan ini sebenarnya secara tidak langsung saya tujukan kepada suami tercinta, hahaha. Serta jelas mengandung curhatan pribadi saya, seharusnya sih yang curhat itu paksu ya, karena mungkin dia yang lebih banyak menderita mempunyai pasangan yang perfeksionis seperti saya, hadeeeh maaf ya pak bojo.

Terlahir dari kedua orang tua yang perfeksionis, sudah pasti buah jatuh tidak akan jatuh jauh dari pohonnya, dari kakak saya yang pertama sampai adik saya yang ke enam semua perfeksionis, walaupun tidak sama tingkatannya, lho emang perfeksionis ada tingkatannya juga? itu sih istilah saya saja karena ada yang perfeksionis dalam segala hal, ada yang bisa memaklumi dalam kondisi tertentu.

Bapake alias papa saya tersayang seorang perfeksionis super, kenapa saya bilang super? Beliau kalau pulang kerja, mau dalam keadaan laper atau tidak yang beliau lakukan pertama adalah bersihin sepatu, kemudian di letakkan di rak atau lemari sepatu, sepatu yang ada di lemari sepatu wajib rapi, dan menghadap ke satu sisi yang sama, dan kami pun seakan terbiasa walaupun adakalanya khilaf, dan papa pasti akan bersuara, hehe. Belum cukup sampai di situ mau berangkat kerja papa akan kembali membersihkan sepatunya, dan perlakuan yang sama juga pada kendaraan beliau, pulang kerja di bersihin, mau berangkat kerja di bersihin lagi, kadang sampai memakan waktu berjam-jam. Mamake pun begitu, kalau saya bantu menjemur pakaian ada yang terlewat posisinya tidak simetris, atau tidak menghadap pada sisi yang sama beliau pasti meminta saya untuk membetulkan jemuran yang saya jemur, lagi-lagi saya pun terbiasa dan untuk kami yang sama-sama perfeksionis, that fine.


Selama sekolah, kuliah, jauh dari orang tua pun tidak ada masalah, mengurus barang saya sendiri, ngekos pun apa-apa punya sendiri, teman satu kos nggak rapi, saat itu that not my bisnis yang penting kamar saya rapi, lemari saya rapi, cukup. Sampai akhirnya menikah dan mempunyai suami yang 180 derajat berbeda, pada awalnya oke, ini tidak pada tempatnya, saya kembalikan ke tempatnya, ini tidak di bereskan, saya bereskan sendiri, sampai hal-hal kecil tidak luput dari mata saya. Akhirnya lama kelamaan capek sendiri, saat itu masih pengantin baru, suami pulang kerja liat istrinya mewek, suami mesti mikirnya macem-macem. Ketika di tanya kenapa? Barang-barang di tarok yang rapi, kalau habis di pake, di kembaliin ke tempatnya biar gampang nyarinya. Itu persis perkataan yang sering di ucapkan papa, hahaha.

Itu baru hal-hal yang sederhana, seringnya lebih parah lagi, suami lagi asik depan laptop, saya yang tadinya cuma mau lewat ke dapur, mampir dulu " yank maaf, bentar ya mejanya nggak lurus, tak lurusin dulu " atau " yank, karpet yang di dudukin miring ", tangan saya sambil ngelurusin karpet. Sebenarnya sadar, sangat-sangat sadar membuang-buang waktu, gorden terbuka posisi kanan dan kiri nggak simetris, mampir betulin dulu, nemu serpihan kotoran di lantai, berhenti pungutin dulu, padahal sih bisa di sapu sekalian ketika beresin rumah tapi yo piye seakan dah reflek. Untung suaminya sabar, memaklumi, mau belajar untuk lebih rapi, hihi.

Punya anak, masih ngotot sebagai ibu yang perfeksionis, rumah harus selalu bersih, apa-apa mesti rapi, ujung-ujungnya capek , meweek. Di usia aufa satu tahun mulai tertular perfeksionis emaknya, makan pisang, nggak sengaja pisangnya patah, nangis kesel, buka makanan nggak simetris nangis, apa-apa kudu sempurna. Akhirnya mulai menyadari, ada yang salah, berumah tangga itu saling melengkapi, suami belajar untuk lebih rapi, meletakkan dan mengembalikan barang pada tempatnya, begitu pun hal-hal sepele lainnya untuk mengimbangi keperfeksionisan istrinya. Saya pun harus belajar untuk memaklumi, menurunkan semua standar, kebersihan, kerapian, sampai ketidaksimetrisan barang-barang yang berada di sekitar saya. Jika saya tidak mau belajar, khawatir nanti bukan emaknya yang setres tapi anaknya, nggak boleh ini, nggak boleh itu. 

Intinya mah fifty fiftylah ya, mungkin sulit mengatakan pasangan perfeksionis itu berkah karena terkadang nyebelin, hahaha ngerasa ini mah, akan tetapi tidak bisa juga di sebut musibah karena banyak memberikan dampak positif pada pasangan yang slebor, piss babe hihi. Hidup berumah tangga itu saling melengkapi, memaklumi, saling memahami perbedaan satu sama lain because the happiest couples never have the same character, they just have the best understanding of their differences. 

Comments

  1. Ya, akhirnya memahami & menerima apa adanya adalah membahagiakan ya mak, bagaimana pun typenya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. betul mak, saling melengkapi itu indah hehe

      Delete
  2. aku jg berbeda hmpir 180 derajat sm suamik mbk, awalnya sih ya maknyonyor gt, sm, suka mewek gk jels, tp makin kesini, alhamdulillah, makin oki doki. hehe.
    slm towel bwt si kecil ya mbak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. toss mba, semakin lama semakin belajar untuk saling memahami ya mbak :)
      salam dan kiss juga bwat si kecil :*

      Delete
  3. Noboy's perfect :) tapi benar yg bs kita lakukan adalah melengkapi satu sama lain. Salam kenal

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

His Journey Is On Another Level

Prosedur Sekolah Di Ma'had Al Azhar Kairo

Pengalaman hari pertama sekolah kakak Aufa di Edinburgh, United Kingdom