Aku dan Perjalanan di Balik Profesiku
Bahasa Inggris adalah salah satu pelajaran yang sangat aku gemari sejak duduk di kelas IV SD, kala itu bahasa Inggris baru pertama kali diajarkan di sekolahku, mungkin karena ini hal yang baru, sehingga memberikan daya tarik tersendiri bagiku, aku bahkan minta papa untuk mengijinkanku mengikuti les bahasa Inggris di rumah guruku. Aku yang saat itu masih duduk di bangku kelas IV SD selalu menyetorkan kosakata bahasa Inggris di buku ke guruku, aku bahkan menghafal semua tenses yang ada di buku. Melihat potensi dan kecintaanku terhadap bahasa Inggris, menjelang kenaikan kelas V ke kelas VI SD, papa akhirnya mendaftarkanku di salah satu lembaga kursus bahasa Inggris terbaik di kota kelahiranku, Palembang. Di tahun pertama, aku mendapatkan peringkat pertama pada ujian semester di lembaga kursus tersebut, sehingga aku dibebaskan dari pembayaran biaya SPP dan semua biaya buku yang menurutku cukup mahal saat itu.
Setelah tamat SD, takdir membawaku untuk melanjutkan sekolah di pondok pesantren, tidak seperti harapanku, ternyata di pesantren tempatku menuntut ilmu, bahasa Inggris bukanlah pelajaran yang diunggulkan dan tidak juga digunakan sebagai bahasa pengantar dalam percakapan sehari-hari, sebaliknya sebagian besar pelajaran menggunakan bahasa Arab dan bahasa itu pun digunakan dalam percakapan sehari-hari. Namun hal itu tidak mengurangi rasa cintaku terhadap bahasa Inggris, sebaliknya itu menumbuhkan ketidaksukaanku terhadap bahasa Arab, aku sangat membenci pelajaran Nahwu, yang rasanya selalu ingin membuatku menangis setiap kali guruku menjelaskan pelajaran tersebut, tak ada satu pun materi yang aku mengerti dan nempel di otakku. Meski kami menggunakan bahasa Arab dalam percakapan sehari-hari, itu belum dapat menumbuhkan rasa cintaku terhadap bahasa tersebut, hingga lulus tingkat SMP pun aku belum menyukai bahasa Arab.
Menjelang kelulusan tingkat SMP, papa mengajakku diskusi terkait sekolah yang ingin aku tuju untuk jenjang SMA, berdasarkan hasil diskusi kami, papa memilihkan untukku salah satu pesantren tersohor di Jawa Timur. Aku cukup terkejut kala itu, aku tidak menyangka papa akan memilihkan sekolah yang cukup jauh dari kota kelahiranku, sebelum keberangkatan ke Jawa Timur ada beberapa kesepakatan yang kami sepakati bersama, salah satunya kedua orang tuaku mungkin tidak bisa sering berkunjung sebagaimana seringnya aku dikunjungi ketika aku sekolah di pesantren sebelumnya.
Setelah melakukan perjalanan yang panjang, kami sampai di pesantren yang kami tuju, papa menjelaskan padaku "ini pesantren yang sering disebut-sebut orang dengan nama Gontor, jauh banget kan? papa dan mama mungkin nggak bisa sering-sering jenguk kamu di sini, atau mungkin papa akan ke sini lagi ketika nanti kamu lulus". Jujur, perasaanku saat itu campur aduk tapi itu pilihanku.
Menjadi santri baru boleh jadi berat bagi sebagian santri tapi tidak begitu bagiku, aku yang sudah terbiasa dengan ritme kehidupan di pesantren hanya butuh beradaptasi dengan teman-teman dan lingkungan baru saja, untuk rutinitas kurang lebih sama dengan pesantren tempatku bersekolah sebelumnya. Akan tetapi aku menemukan sesuatu yang menarik dan berbeda dari pesantren tempatku bersekolah ketika SMP, di sini percakapan sehari-hari menggunakan 2 bahasa, bahasa Arab dan Inggris. Aku seakan menemukan rumah yang benar-benar menginterpretasikan diriku, aku menemukan banyak teman untuk berbicara bahasa Inggris di pekan bahasa Inggris, "wow bahasa Inggris orang-orang yang tinggal di pulau Jawa keren-keren", gumamku kala itu. Dibandingkan diriku, memang banyak teman-temanku lulusan SMP yang speaking dan pronunciation-nya sempurna menurutku. Terlebih lagi buku-buku English Lesson yang kami gunakan bercerita tentang kota London, Inggris. Uniknya, di sini sebagian besar pelajaran harus dihafalkan, begitu pula dengan teks cerita dalam pelajaran bahasa Arab dan Inggris, kami diwajibkan menyetorkan hafalan dari setiap teks bacaan yang kami pelajari, aku menyukainya karena ketika menyetorkan hafalan tersebut kami seakan menyampaikan story telling dan mendengarkannya dari teman-teman yang maju ke depan kelas, dengan itu lambat laun kami bahkan hafal nama-nama tempat terkenal di kota London, 6 jilid buku English Lesson yang tidak terlalu tebal namun kaya akan makna itu membuatku sangat mencintai kota London. Aku bahkan suka sesumbar pada teman-temanku, "one day I'm gonna practice my English in this City", impian seorang anak remaja yang bahkan dia sendiri pun tahu kecil kemungkinan untuk mewujudkannya.
Rasa suka yang tinggi dengan lingkungan yang menciptakan vibe praktik bahasa Inggris yang menyenangkan serta motivasi yang selalu digaungkan untuk menguasai dua bahasa di pesantren ini ternyata juga membawaku mulai menyukai bahasa Arab, bertemu guru yang mengajarkan pelajaran Nahwu dengan metode yang menyenangkan dan mudah dipahami lambat laun mengubah mindset-ku terhadap bahasa Arab, terlebih lagi guru-guru yang selalu memberikan motivasi membuatku semakin semangat untuk mempelajari bahasa Arab. Aku begitu excited ketika akan membahas materi-materi baru dalam pelajaran yang berkaitan dengan bahasa Arab, aku menyukai menyetorkan hafalan-hafalan teks cerita dalam bahasa Arab, aku bahkan menyukai bagian yang tidak disukai dari pelajaran Nahwu, yaitu mengi’rab, membedah kedudukan setiap kata dalam sebuah kalimat bahasa Arab. Ketertarikanku ini akhirnya membawaku mengemban amanah sebagai salah satu pengajar Nahwu di kelas pelajaran sore, selain mengajar Nahwu aku juga mengajar English Lesson. Di pesantren ini untuk pelajaran sore kelas bawah atau tingkat SMP memang diampu oleh siswi kelas atas yaitu kelas V dan VI atau setingkat kelas II dan III SMA.
Setelah lulus SMA aku ingin melanjutkan kuliah dengan pilihan jurusan Pendidikan Bahasa Inggris atau Sastra Inggris, aku pun menyampaikan keinginanku itu kepada kedua orang tuaku. Papa kala itu memberikan pertimbangan untukku, beliau bilang “beberapa tahun kedepan kamu akan menemukan banyak wadah untuk praktik bahasa Inggris, dari tontonan, bacaan berupa artikel, jurnal ilmiah, bahkan kamu akan banyak menemukan orang yang berbicara menggunakan bahasa Inggris, maka tidak akan sulit untuk kamu mengasah kemampuan bahasa Inggrismu tapi berbeda dengan bahasa Arab, kamu tidak banyak menemukan wadah untuk praktik jika kamu tidak menekuni bidang yang berkaitan dengan bahasa Arab”, dari diskusi singkat kami, intinya papa menyarankanku untuk melanjutkan kuliah di bidang yang berkaitan dengan bahasa Arab. Meski belum yakin dengan kemampuan bahasa Arabku, aku memberanikan diri untuk mendaftar kuliah di LIPIA, kampus yang berlokasi di Jakarta Selatan ini memang fokus pada pendidikan agama Islam dan bahasa Arab. Setelah mengikuti serangkaian tes, Alhamdulillah aku diterima di kampus ini.
Rentetan perjalanan panjang inilah yang akhirnya mengantarkanku untuk menekuni profesiku saat ini, yaitu guru bahasa Arab. Aku tidak pernah menyesal melepaskan keinginanku untuk kuliah pendidikan bahasa Inggris ataupun Sastra Inggris. Allah bahkan memberikan takdir terbaiknya untukku, beberapa tahun lalu aku diberikan kesempatan untuk mendampingi suami menyelesaikan studinya di University of Edinburgh, Edinburgh merupakan ibukota Skotlandia, salah satu negara konstituen Britania Raya. Kendati hanya 2 tahun tinggal di kota ini, memberikanku banyak pengalaman, diantaranya: aku berkesempatan untuk bekerja part time sebagai Arabic and English Interpreter di bawah naungan DA Languages. Aku juga bisa mengunjungi kota London, impian masa remajaku, berkeliling sambil mengenang pelajaran English Lesson di masa aku sekolah, kota yang dulu divisualisasikan penulis melalui serangkaian teks cerita, akhirnya bisa aku lihat dengan nyata.
Aku mencintai profesiku, aku bukanlah guru bahasa Arab yang menguasai ilmu Nahwu, aku justru banyak belajar ketika aku menjadi guru. Aku juga bukan guru yang mahir bahasa Inggris, pronunciation-ku bahkan masih jauh dari levelnya British. Aku hanya guru yang memiliki keyakinan bahwa setiap murid itu mampu mencapai level maksimal mereka, selalu memberikan motivasi sebagaimana dulu guru-guruku memberikan motivasi adalah salah satu caraku untuk meningkatkan efikasi diri murid-muridku. Mengajarkan mereka untuk menetapkan tujuan atau goals terdekat dan terjauh dalam pembelajaran, menuliskan dan menempelnya pada papan akrilik kelas maupun buku adalah caraku agar mereka dapat memvisualisasikan mimpi mereka sebagaimana dulu aku melakukannya.
Comments
Post a Comment