Maintening My Goals
Sawang Sinawang, petuah hidup yang mengandung filosofi kehidupan yang mengajarkan manusia untuk bersyukur atas apa yang dimilikinya. Begitulah kehidupan, terkadang apa yang terlihat pada diri orang lain ataupun kehidupan orang lain seakan lebih baik dari kehidupan kita. Rasanya, hampir semua orang mengalaminya. That also had happen to me, sebagai pasangan yang sama-sama menikah muda, tentu kami masih memiliki tujuan yang ingin kami capai bersama. Setelah di wisuda S1 dengan didampingi suami dan anak, membuat saya semakin bersyukur, saya merasa banyak nikmat yang Allah berikan pada saya.
Namun, bukan berarti saya tidak pernah merasa ingin mencapai pencapaian yang telah dicapai orang lain. Setelah memiliki anak, dan melihat teman-teman saya dapat melanjutkan studi ke jenjang magister, saya pernah merasakan iri (dalam hal positif), menginginkan hal yang sama, karena hal tersebut merupakan salah satu goals saya. I've ever told everyone on this blog, saya pernah begitu ambisius, memaksakan diri untuk mengikuti tes beasiswa di kehamilan kedua saya meski suami tidak mengijinkan, yang awalnya saya pikir iseng-iseng saja dan berakhir dengan hasil dinyatakan lulus, namun tidak dapat berjalan dengan baik. Pelajaran yang Allah berikan yang membuka pikiran saya sampai saat ini, setelah menikah restu suamimu adalah yang utama, pelajaran yang sampai saat ini saya pegang dengan teguh.
Seiring bertambahnya usia, saya didewasakan oleh keadaan, mengesampingkan tujuan yang ingin saya capai dalam bidang pendidikan dan berusaha fokus terlebih dahulu dengan keluarga, goals dan karir suami. Ketika saya mendampingi suami menyelesaikan beasiswa S1nya di UGM, dia pernah mengungkapkan "nanti aku pengen S2nya di luar negeri, aku pengen keluargaku ikut dan merasakan juga kehidupan di luar negeri". Mendengar keinginannya tersebut, membuat saya semakin yakin untuk mendahulukan tujuan yang ingin dicapai suami, mungkin dengan itu dia dapat lebih fokus. Di sisi lain, tuntutan pekerjaan suami yang berpindah pindah juga membuat saya sulit untuk melanjutkan pendidikan saya, terlebih lagi kami berkomitmen untuk terus membangun pondasi keluarga ini dalam satu atap, Long Distance Marriage adalah opsi terakhir, jika tidak memungkinkan, kami pernah menjalani LDM selama 2 bulan dikarenakan suami harus berangkat terlebih dahulu ke UK dan mempersiapkan tempat tinggal kami terlebih dahulu di sana, kami juga pernah LDM 2 bulan paska gempa Palu 2018, kami yang sudah mengurus kepindahan sekolah anak-anak terpaksa menundanya, dikarenakan keadaan di kota Palu yang tidak memungkinkan saat itu.
Tahun demi tahun kami lewati, sampai di tahun 2017 saya mengutarakan ke suami untuk diijinkan melanjutkan studi pada jenjang magister, Alhamdulillah suami mengijinkan dikarenakan anak-anak kami sudah bisa mandiri, namun saat itu saya bimbang, karena ingin memiliki anak lagi, setelah shalat istikharah, Alhamdulillah Allah kasih jawaban dengan kehamilan anak ketiga. Tentu saya harus mengambil tindakan atas nikmat Allah tersebut dengan kembali menunda rencana studi saya.
Tepat di tahun 2022 ketika kami mencari sekolah TK untuk anak ketiga kami di Bengkulu, saya kembali terpikir untuk melanjutkan studi, Alhamdulillah suami dimutasi ke Jakarta, disela-sela mengurus kepindahan dan juga mutasi sekolah, saya mendaftar untuk melanjutkan studi di Jakarta. Tidak terasa ternyata kuliah 2 tahun itu tidaklah lama, walau dipenuhi dengan drama lelah hingga beberapa kali meneteskan air mata. Saya yang sebelumnya off mengajar di lembaga pendidikan formal kembali mengajar di weekdays dan langsung mengemban amanah 38 JP, di akhir pekan saya harus kuliah dari pagi hingga sore hari, it was memorable moment. Alhamdulillah di tahun berikutnya permohonan saya untuk dikurangi jam mengajar dikabulkan sehingga saya dapat lebih fokus mengerjakan tugas perkuliahan dan tugas akhir saya.
Ketika memutuskan untuk melanjutkan kuliah, tentu saya memiliki goals yang ingin saya capai. Dengan penantian yang sangat lama ini, tepatnya 14 tahun, tentu saya ingin memberikan usaha terbaik saya, meski berat menjalaninya, Alhamdulillah Allah memberikan kemampuan tersebut dan Alhamdulillah saya dapat lulus dengan hasil yang baik, saya sudah menuliskan proses studi saya ini di sini. Di bulan desember tahun lalu, Alhamdulillah saya dapat memberikan undangan istimewa pada kedua orang tua saya untuk ikut serta menghadiri wisuda saya. Dipanggil sebagai salah satu lulusan Cumlaude, merupakan salah satu tujuan saya, saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.
Tak ada pencapaian tanpa kerja keras, ada air mata ketika badan sudah tak mampu menahan lelahnya kuliah sambil bekerja, dan ada keluh kesah yang disampaikan melalui cerita. Jika ditanya, Apakah masih ingin mengulangi momen-momen ini? May be Yes, may be No, hihi. Jika mengingat nikmatnya menuntut ilmu, rasanya ingin, namun jika mengingat lelahnya, sepertinya cukup, hahaha. Let's see..
Comments
Post a Comment